Jebakan “Petugas Partai” dan Kedewasaan Politik Capres Pilihannya

“Beberapa orang mengubah partai mereka demi prinsip mereka, yang lain mengubah prinsip mereka demi partai mereka” – Winston Churchill

BICARA kedewasaan artinya sudah bisa mandiri, memiliki inisiatif sendiri yang tidak mudah disetel oleh orang lain. Atau dari ukuran usia yang sudah dianggap dewasa atau matang.
Namun kelihatannya istilah atau kondisi itu tidak berlaku dalam politik, ketika kita terkurung dalam kondisi menjadi “petugas partai” atau “orang bayangan” dari kekuatan yang dianggap punya legitimasi dan kekuatan super power yang sulit dipatahkan dan dilawan.
Apakah konsep militansi memang harus begitu? Posisi Ganjar Pranowo saat diusung sebagai Capres PDI-Perjuangan 2024 jelas akan tersandera “Demokrasi ala PDI Perjuangan”.

Menempatkan siapapun kader partai dari PDI Perjuangan yang duduk di lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif sebagai “Petugas Partai”.
Apakah garis komando “Petugas Partai” model itu salah, sangat bergantung pada subyektifitas yang menilai.
Bagi internal PDIP, sebagai partai penyokong utama kandidat tentu sudah menggariskan kebijakan untuk menjalankan amanah partai sebagai garis komando vertikal dengan pucuk pimpinannya.
Ganjar Pranowo paham betul dengan posisi politik setelah dicalonkan oleh PDI-P untuk duduk di Istana Negara melalui Pilpres 2024 nantinya. Posisi dan kedudukan politik yang pernah dan masih dirasakan Presiden Joko Widodo sebagai “dilema”.

Baca Juga :  Wabup Humbahas Bersama Dirut PT NBP Tandatangani Prasasti Peresmian Gedung Pusat PT BPR NBP 10 Dolok Sanggul. 

Prabowo dan Egosentrisme
Di sisi lain yang menarik dari Prabowo Subianto, dengan elektabilitasnya yang tak pernah kendor sejak maju dalam pencalonan, barangkali didukung oleh pengalamannya sebagai runner up capres mengajarkannya berpolitik lebih santun.
Kesediaan menempatkan kepentingan bangsa di atas kepentingan golongan dan pribadi yang perlu di kedepankan. Sikap elegan yang tidak semua orang akan mampu melakukannya sebagai keputusan yang dilematis.
Terbukti Prabowo Subianto bersedia untuk masuk “Kabinet Indonesia Maju”. Meninggalkan ego kepentingan partai atau golongan dan pandangan sumir sebagian pendukungnya di Pilpres 2019. Sekalipun dianggap sebagai keputusan aneh oleh para pendukungnya yang sudah berjibaku mati-matian mendukungnya.
Namun menurut kata seorang pakar politik, justru mereka yang menolak Prabowo masuk dalam Koaliasi Indonesia Maju-lah yang sebenarnya patut disebut sebagai (maaf) pengkhianat.
Karena dengan keputusan itu, artinya Prabowo menanggalkan egonya demi kepentingan yang lebih besar. Sikap Prabowo yang mengesampingkan egosentrisme jelas memberi pembelajaran politik, bagaimana menempatkan “Demokrasi yang Sesungguhnya” untuk kepentingan yang lebih besar.
Inilah barangkali yang membuat elektabilitas Prabowo tak pernah terjun bebas hingga saat ini. Dibandingkan beberapa capres lain yang dianggap secara politik “ngotot” dan “ambisius” dengan target dan perintah partai.

Baca Juga :  begini keputusan ketua umum pimpinan partai banteng.terkait pendamping capres yang di usung dari partainya.

Persaingan Politik
Di kubu Koalisi Perubahan Untuk Persatuan (KPP) terjadi eskalasi pergerakan internal yang saling mendesak. Keputusan untuk merapatkan barisan dan menentukan pilihan harus disegerakan agar bisa beranjak pada langkah politik berikutnya.
Dinamika elektabilitas juga diramaikan dengan banyaknya survei yang saling dukung dan saling menjatuhkan, tergantung seberapa besar penyelenggara survei berafiliasi dengan tokoh yang didukungnya.
Lembaga survei terus berproses mewartakan perkembangan dinamis elektabilitas Calon Presiden (Capres) yang mulai dimunculkan berbagai media.
Hasil survei di linimasa berbagai media bergerak fluktuatif. Saling susul antarkandidat Capres maupun Cawapres. Riuh mewarnai dinamika politik nasional untuk nantinya berebut menduduki “Kursi Istana Negara”.
Di posisi atas Prabowo Subianto, Ganjar Pranowo dan Anies Baswedan terus memuncaki persaingan dan tengah menunggu kepastian mencari pendamping cawapresnya. Setiap “tes ombak” dari salah satu koalisi selalu menimbulkan gelombang baru yang luar biasa bagi yang lainnya.
Masa king maker membuat sinyal-sinyal kelihatannya akan mulai berakhir, dukung mendukung akan semakin jelas, sekalipun bisa menimbulkan gesekan. Patut dicermati elektabilitas Prabowo Subianto yang menanjak juga “dikait-kaitkan dengan dukungan Jokowi” oleh beberapa kalangan. Ini bisa bertendensi buruk bagi hubungan Jokowi dan partai pendukungnya, PDIP, yang saat ini masih berseberangan dengan Prabowo.
Sepuluh nama cawapres yang diumumkan oleh Ketua DPP PDIP Puan Maharani langsung menimbulkan gejolak di kubu koalisi lain. Apalagi PDIP memainkan jurus merangkum semua calon nama potensial siapapun itu yang bisa dijadikan cawapres pasangan Ganjar. Termasuk yang sudah masuk dalam bilangan koalisi lain. Begitulah politik saat ini, semakin panas dan bergairah seiring makin dekatnya Pilpres.
Bagi Ganjar terlepas dari apapun konsekuensinya yang akan ditanggungnya, keteguhan prinsip “Petugas Partai” di internal PDI-P seakan berwujud “Keranda Demokrasi” bagi siapapun yang masuk dalam barisan PDIP dalam kontestasi di Pilpres 2024, baik sebagai Capres ataupun Cawapres .
Hal yang “mungkin” dihindari Prabowo Subianto, diterima Ganjar Pranowo, dan pernah dialami Joko Widodo. Setidaknya masih ada waktu menentukan dan menempatkan posisi politik bagi para kandidat Capres dan Cawapres menuju Pilpres 2024. Perhitungan untung rugi bagi kemenangan kontestasi Pilpres 2024 jelas menjadi pertimbangan utama.
Pertimbangan yang tidak mudah dan tentunya akan terus dinamis ke depannya. Termasuk apakah akan maju dengan kekuatan sendiri atau tetap akan menjadi “petugas partai”, “orang bayangan” dari kekuatan besar lain di belakangnya.

Baca Juga :  Jelang Tahun Politik, Politikus PDI-P Adisatrya : Semoga Pemilu Berjalan Damai dan Lancar Menuju Indonesia Lebih Baik

sumber: https://nasional.kompas.com/read/2023/07/13/06000041/jebakan-petugas-partai-dan-kedewasaan-politik-capres-pilihannya

Array
Related posts
Tutup
Tutup