Lubuk Linggau – news intelijen com.
Asas dominus litis dalam sistem peradilan pidana Indonesia yang memberikan kewenangan penuh kepada jaksa dalam proses penuntutan kembali menjadi sorotan. Ketua Umum DPC PERMAHI Kota Lubuklinggau, Yolanda Fiorence Lingga, menilai bahwa kewenangan ini berpotensi menimbulkan ketimpangan hukum jika tidak diawasi dengan baik.
Dalam wawancara bersama Media
Rabu /12/2/2025, Yolanda menjelaskan bahwa asas dominus litis memang bertujuan untuk menciptakan kepastian hukum, tetapi dalam praktiknya sering kali menimbulkan perdebatan. “Jaksa memiliki wewenang penuh dalam menentukan apakah suatu perkara layak untuk diajukan ke pengadilan atau dihentikan. Hal ini tentu baik untuk efisiensi sistem peradilan, tetapi di sisi lain juga membuka celah bagi potensi penyalahgunaan wewenang,” ujar Yolanda.
Menurut Yolanda, salah satu risiko utama dari asas dominus litis adalah dominasi jaksa dalam menentukan nasib suatu perkara tanpa kontrol yang cukup kuat. “Jaksa bisa saja menghentikan perkara tertentu dengan alasan yang belum tentu dapat diuji secara objektif. Di sisi lain, mereka juga bisa tetap memaksakan suatu perkara ke pengadilan meskipun buktinya lemah. Ini berbahaya jika tidak ada mekanisme pengawasan yang jelas,” jelasnya. Selain itu, ia juga menyoroti bagaimana hubungan antara penyidik dan jaksa sering kali menjadi faktor penghambat dalam penyelesaian perkara. “Ketika penyidik sudah menyelesaikan berkas perkara, tetapi jaksa menolaknya dengan alasan kurang bukti, hal ini bisa membuat kasus mangkrak. Apalagi jika ada kepentingan tertentu yang bermain di dalamnya,” katanya.
Dalam beberapa kasus di Indonesia, lanjut Yolanda, sering terjadi situasi di mana kewenangan penuh jaksa menimbulkan kontroversi. “Kita melihat ada perkara yang cepat sekali diproses, sementara ada yang justru mandek tanpa alasan yang jelas. Dalam kasus korupsi, misalnya, masyarakat sering mempertanyakan mengapa ada kasus yang terkesan dilindungi, sementara yang lain berjalan dengan sangat cepat,” tambahnya. Selain itu, ia juga menyinggung soal mekanisme deponering atau pengesampingan perkara demi kepentingan umum yang terkadang digunakan jaksa untuk menghentikan penuntutan terhadap individu tertentu. “Mekanisme ini sah menurut hukum, tetapi sering kali masyarakat bertanya-tanya, apakah keputusan tersebut murni berdasarkan hukum atau ada faktor lain yang berperan?” ujarnya.
Untuk menghindari ketimpangan hukum akibat dominasi jaksa dalam sistem peradilan, Yolanda mengusulkan beberapa langkah reformasi yang perlu dipertimbangkan. Ia menekankan bahwa kejaksaan harus memiliki sistem pengawasan internal yang lebih transparan, sehingga keputusan mereka bisa diuji dan tidak hanya berdasarkan pertimbangan subjektif. Selain itu, setiap keputusan untuk menghentikan atau melanjutkan perkara harus disertai alasan yang jelas dan bisa diakses oleh publik agar kepercayaan masyarakat terhadap institusi hukum tetap terjaga. Ia juga mengusulkan agar dalam kasus tertentu, penyidik diberikan kewenangan untuk mengajukan perkara langsung ke pengadilan tanpa harus menunggu keputusan jaksa. “Ada baiknya dalam kasus tertentu, penyidik diberikan hak untuk mengajukan perkara langsung ke pengadilan tanpa harus menunggu keputusan jaksa. Ini bisa menjadi solusi untuk menghindari stagnasi dalam proses hukum,” ungkapnya.
Yolanda menegaskan bahwa asas dominus litis tetap menjadi bagian penting dalam sistem hukum Indonesia, tetapi pelaksanaannya harus diawasi dengan ketat agar tidak menimbulkan ketimpangan hukum. “Kita harus memastikan bahwa kewenangan jaksa dalam sistem peradilan tetap sejalan dengan prinsip keadilan dan transparansi. Jangan sampai asas ini malah menjadi alat untuk melanggengkan ketidakadilan dalam sistem hukum kita,” tutupnya. (*Tim)