Jakarta,Indonesia. NewsIntelijen.com
Jhonson.S dan Haris Nasution, dua orang pelaku jurnalis mewawancara Raymond Munthe, menanyakan kepada bang Mantan aktivis, mengenai “Broo” Natalius Pigai SIP, saya langsung meminta teman-teman jurnalistik memberikan waktu bagi saya untuk menceritakan mengenai Natalis yang saya kenal. Saya Kenal tentunya sebagai seorang sahabat.
Bagi saya Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan hak fundamental yang melekat pada setiap individu, tanpa memandang latar belakang ras, agama, atau status sosial. Di Indonesia, isu-isu terkait HAM sering kali menjadi sorotan, baik dalam konteks kekerasan negara, diskriminasi, maupun pelanggaran terhadap kelompok-kelompok rentan.
Penting bagi saya menyatakan bahwa hak asasi di Indonesia khususnya bukan semata-mata mengenai genosida, Perang, Rasisme tapi merupakan diskripsi yang harus menyentuh kepada kemiskinan, rendahnya pendidikan dan kesetaraan gender. Ini Penting dan fundamental menurut saya karena negara Indonesia haruslah berangkat dari pemikiran yang sama mengenai Asasi ini , karena asasi sendiri telah mengandung arti : dasar atau fundamental.
Jika berbicara mengenai salah satu tokoh yang memiliki peran penting dalam memperjuangkan HAM di Indonesia telunjuk saya mengarah kepada Natalius Pigai, seorang aktivis dan mantan anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).
Pigai dikenal vocal, blak-blakan , tanpa tedeng aling-aling jika berbicara dan tentunta dalam membela hak-hak kaum terpinggirkan, terutama masyarakat Papua, serta gigih menyoroti berbagai bentuk pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia.
Saya mengatakan pigai sahabat, karena saya sudah mengenal sdr pigai sejak awal tahun 90’ an di Yogyakarta. Kebetulan kami berdua kala itu sama-sama anak “terpinggirkan “ secara ekonomi. Gaya unik Bro pigai sudah ada sejak dulu, Bercelana pendek kemanapun dia pergi, kaos oblong, memakai selempang tas noken khas papua yang isinya buku dan sandal jepit. Adalah ciri Khas dia. Oh Ya 1 lagi yang saya ingat, kaki kekarnya selalu beralaskan sandal jepit. Mengenai sandal jepit ada cerita tersendiri yang kapan waktu bisa saya “lantunkan”.
Di base camp kami margasiswa, DPC PMKRI Yogyakarta minimal 1 bulan sekali kami “berkantor” disana, cerita ngalur ngidul dengan dialek papua nya yang awal2 pertemuan sulit saya mengerti. Lama-kelamaan saya memahami, ini bro anak pintar dari papua. Ada cerita lucu diantara kami berdua, karena keterbatasan ekonomi kemana-mana kami pergi dengan berjalan kaki. Jika pada jam-jam perkuliahan , kami biasa naik angkutan umum, yang tentunya gratis pada saat itu, khususnya mahasiswa. Kalau pun tidak gratis , jika kondektur sudah mendekat kami pura-pura segera menuju pintu keluar untuk lari dari “ terkaman “ kondektur bus.
Bisa dibayangkan lompat dari bus, bukan keahlian sdr. Pigai, kalau saya Ya., tubuh kecil saya gesit soal lari. Untuk sdr. Pigai dengan tubuhnya yang kekar, tentu ia kesulitan mengejar kelincahan saya. Hanya satu yang tidak bisasaya t
imbangi mengenai saudara pigai. Berjalan. Kalau sudah berjalan sudara pigai lupa ada kawan di samping atau dibelakangnya yang sudah ngos-ngosan.
Naik sepeda, menjadi agenda berat untuk saya dan pigai. Walupun sepeda menjadi sarana transportasi utama bagi kami mahasiswa di Yogyakarta, tapi tidak untuk kami berdua. Selain faktor ekonomi, tidak banyak teman-teman yang mau meminjamkan kepada kami roda dua yang namanya sepeda. Tahu alasannya ? saya tidak kuat membonceng dan mengayuh jika bung pigai ada di bangku penumpang, dan sebaliknya jika sdr. Pigai yang berada di “setir kemudi’ dua kali ayunan pasti sepeda yang kami pinjami menabrak trotoar atau masuk ke got jalan raya. Sepeda teman yang rusak, sulit buat kami membuat alibi yang baik, sehingga kawan-kawan mahasiswa atau teman-teman pergerakan mau meminjamkan kembali sepeda nya kepada kami berdua.
Banyak lagi cerita-cerita